Aku pikir aku sudah tidak punya waktu lagi. Ya, waktu yang cukup untuk lari dari semua ini. Aku tahu, lari tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi setidaknya, aku bisa menenangkan diriku dulu untuk menerima semua ini. Ini bukan salah papa atau mama. Tapi salah aku, ya, salah aku yang hidup di dunia ini dan... Ah, aku memang bodoh. Mau saja aku menerima semua ini saat aku belum benar-benar tahu yang benar.
Bila ada orang lain yang mencariku selain Arya atau Riyan, aku tidak akan menerima orang itu di sini. Aku hanya butuh mereka, setidaknya untuk saat ini. Hanya mereka yang tahu dan mengerti dan benar-benar paham atas semua yang menimpaku.
“Jadi, kamu udah tahu mau apa sekarang, Ga?” tanya Arya memandangku. Tatapannya tidak pernah seserius dan seseram ini. Biasanya tatapannya teduh seperti pohon pinus di pegunungan, sekarang ia membuatku takut.
Aku menggeleng.
“Sampai kapan kamu mau di sini, Len?” sekarang Riyan yang akan mengintimidasiku.
Aku mengangkat bahu, menandakan aku tidak tahu. Memang aku tidak tahu sampai kapan aku akan di sini. Aku tidak mengerti apa mau mereka. Mereka tahu kan aku di sini bukan untuk lari. Maksudnya, bukan lari dalam arti yang sebenarnya. Aku hanya ingin mengontrol emosiku, setidaknya agar aku tenang dan siap atas semuanya. Ya, aku juga berharap orang-orang yang memaksaku bisa, mengubah keputusannya. Apa mereka masih tidak mengerti juga?
“Berhenti ngomong pake bahasa tubuh, Ga. Kamu punya mulut, kamu punya suara, kamu juga masih bisa menggerakkan bibir kamu. Kenapa nggak jawab pake suara aja sih, Ga? Aku masih nggak ngerti deh sama kamu.” Arya benar-benar membuatku bergidik. Ia tahu aku takut dengan orang marah, apalagi bila aku harus menahan emosi agar ia tidak bertambah marah kepadaku.
“Ya, udah, jangan marah-marahin Jingga terus dong. Lo tahu kan, dia takut sama orang marah?” Riyan membelaku, membuat aku tersenyum menang.
“Aduh, Yan. Kalo lo belain dia terus, dia nggak bakal berubah. Sampai kapan sih lo mau ngebiarinin dia kayak orang lumpuh gini? Dia kan punya kehidupan yang masih panjang, dia musti nikmatin semua itu, bukan diem kayak gini!”
Kata-kata Arya benar. Aku hidup bukan untuk seperti ini kan? Aku kan hidup untuk menjadi aku dan untuk bahagia. Bukannya malah seperti ini. Seperti orang lumpuh. Hanya di rumah petak pinggiran Jakarta, tidak mau bertemu dengan siapa-siapa, kecuali mereka berdua. Tidak pernah keluar rumah. Rasanya hidupku yang masih normal itu dua tahun yang lalu. Wow, aku sudah dua tahun di rumah usang ini? Betah sekali aku.
“Sekarang tanggal berapa?” tanyaku pada mereka berdua yang masih memperdebatkan aku sedari tadi. Dan kelihatannya ini suara pertamaku di rumah ini, semuanya terlihat lebih...berwarna.
Riyan dan Arya menengok ke arahku bingung. Dan Riyan, ia seperti mendengar anaknya yang berumur tiga tahun berbicara rumus fisika. Ia senang sesenang-senangnya dan langsung memelukku erat. Aku hampir tidak dapat bernafas.
“Riyan Suradriatmana! Aku..nggak..bisa...nafas....” suaraku terdengar segar, seperti baru keluar dari oven. Aku senang mendengar suaraku. Namun, pelukan Riyan terlalu kuat! Aku benar-benar akan asma walau aku tidak punya asma sih.
Riyan melepaskan pelukannya “Kamu inget nama panjang aku, Len! Kamu hebat!” Riyan memelukku lagi dan aku segera mendorongnya pelan agar cepat melepaskan pelukannya.
Aku langsung menghampiri Arya dan langsung memeluknya sangat erat “Aku sayang kamu!” entah mengapa kalimat itu yang keluar pertama dari mulutku saat dipelukkannya.
Arya tidak menjawab, ia hanya membalas pelukanku dan mengecup keningku.
jangan lupa ya dit copy-annya.
ReplyDeletepenasaran.
hahahaha
sippo! doakan ya sebelom 25 sept ya. haha
ReplyDelete